http://batikwarisanbudaya.blospot.com
Pembagian atau
penggolongan pola-pola batik bukanlah pekerjaan yang mudah, oleh karena itu
setiap hasil yang diperoleh akan selalu bersifat garis besar dan semata-mata dimaksudkan
untuk pegangan bagi pembaca atau peneliti.
Pada permulaan
abad ini Rouffaer dalam bukunya mencoba mengumpulkan nama-nama pola batik yang
terkenal dan berhasil mengumpulkan sebanyak 3000 macam. Dalam jangka waktu
sejak ditulisnya buku tersebut sampai kepada terbitnya buku ini tentu seni
batik terus mengalami perkembangan, demikian pula pola-pola bertambah
banyak jenisnya, berganti-ganti
muncul dan hilang mengikuti perubahan selera pemakaiannya. Pola batik dapat
dibagi menjadi dua yaitu: pola
geometris dan pola non-geometris.
Pola Geometris
Pola “Banji”
Pola Banji
termasuk salah satu pola batik yang tertua, berupa silang yang diberi tambahan
garis-garis pada ujungnya dengan gaya
melingkar kekanan atau kekiri. Motif yang seperti ini terkenal di berbagai kebudayaan
kuno di dunia ini dan sering disebut swastika. Di Nusantara pola ini tidak
terbatas pada seni batik saja, tetapi dapat dijumpai pula sebagai hiasan
benda-benda lain yang tersebar dibanyak pulau.
Nama “Banji”
berasal dari kata-kata Tionghoa “Ban’ berarti sepuluh, dan “Dzi” yang artinya
ribu, perlambang murah rejeki atau kebahagiaan yang berlipat ganda. Melihat
atau mendengar nama ini, maka dapat diperkirakan bahwa pola banji masuk ke
dalam seni batik sebagai akibat pengaruh kebudayaan Tionghoa.
Teknik Hias Latar
Seperti telah
diketahui bahwa pada tahun 1400 Masehi, di pantai utara Pulau Jawa telah banyak
orang-orang Tionghoa yang menetap, dan yang dalam pada itu tentu membawa
perbendaharaan kebudayaan mereka yang kuno dan kaya itu. Hal ini nampak pada
banyaknya peninggalan berupa barang pecah belah Tionghoa yang sampai kini masih
tersebar di pantai utara dan di banyak bagian lain kepulauan Indonesia,
sehingga tidaklah mustahil bahwa penduduk asli yang sudah lama berkenalan dengan
para pendatang Tionghoa mengambil serta meniru pola-pola hiasan. Mereka yang
menyangkal pengaruh kebudayaan Tionghoa menunjuk kepada nama Jawa asli yang
dipakai untuk pola ini yaitu : Balok
bosok, artinya kayu yang busuk, karena pola banji menyerupai balok-balok
bersilang yang dimakan bubuk. Pola banji dalam seni batik mengalami bermacam
perubahan dan diberi hiasan-hiasan tambahan, misalnya seringkali diseling
dengan daunan atau rangkaian bunga-bungaan, sedemikian rupa hingga sukar untuk
mengenal kembali silang banjinya.
Pola “ceplok” atau “ceplokan”
Pola yang
sangat digemari, terdiri atas garis-garis yang membentuk persegi-persegi,
lingkaran-lingkaran, jajaran-jajaran genjang, binatangbinatang atau
bentuk-bentuk lain bersegi banyak. Bila diteliti benar-benar maka terlihat
bahwa pola ceplok ini berupa stiliring atau abstraksi berbagai benda, misalnya
saja bunga-bunga kuncup, belahan-belahan buah, bahkan binatang-binatang. Itulah
sebabnya banyak diantara motifmotif ini memakai nama kembang atau binatang. Selain
sangat digemari pola ini juga sangat tua usianya, hal ini terlihat pada
beberapa peninggalan candi terdapat hiasan-hiasan yang menyerupai atau
mengingatkan kita pada pola ceplok ini.
Dalam golongan
pola ceplokan ini dapat juga dimasukkan pola yang lazim dikenal dengan nama
pola ganggong. Berbagai-bagai tafsiran para ahli mengenai asal-usul pola ini.
Jasper dalam bukunya yang terkenal mencari asalnya pada semacam tumbuh-tumbuhan
dipaya-paya yang buahnya kalau dibelah dua menunjukkan gambaran yang mirip
dengan pola batik ganggong. Tetapi harus diingat bahwa inipun hanya salah satu diantara
sekian banyak keterangan mengenai asal pola ini. Ada yang menganggap pola genggong sebagai
pola yang berdiri sendiri, karena menunjukkan beberapa ciri yang khas, berupa
binatang-binatang atau silang-silang yang ujung jari-jarinya melingkar seperti
benang sari bunga. Pola ganggong inipun mengalami bermacam-macam variasi.
Pola “kawung”
Pola ini
sebenarnya dapat digolongkan dalam motif ceplokan, tetapi karena kunonya dan
juga karena sifat-sifatnya yang tersendiri dijadikan golongan yang terpisah. Pola
ini tergolong kuno, hal ini dapat dilihat pada pahatan/ukiran Candi Prambanan
yang didirikan kira-kira pada abad VIII Masehi dan juga pada beberapa
peninggalan lain. Mengenai asal-usul pola ini terdapat perbedaan faham. Ada yang mengembalikan
pola ini kepada buah pohon aren atau kawung, karena belahan buah aren itulah
yang menjadi dasar pola kawung. Tetapi Rouffaer misalnya, berpendapat bahwa
pola kawung berasal dari suatu pola kuno yang lain yaitu pola grinsing. Pola
grinsing ini telah disebut dalam sumber-sumber tertulis silsilah raja yang
bernama Pararaton (abad ke-14). Pola yang terdiri atas lingkaran-lingkaran
kecil dengan sebuah titik di dalamnya tersusun seolah-olah sisik ikan atau
ular, menjadi penghias latar/dikombinasikan dengan motif lain.
Sumber-sumber
dari Jawa Timur tahun 1275 menyebutnya bersamaan dengan motif wayang, misalnya grising.
Grising inilah kemudian berkembang serta berubah menjadi pola kawung. Pola kawungan
bermacam-macam ragamnya, berbeda menurut besarkecilnya ukuran yang dipakai,
sangast digemari di kalangan Kraton Yogyakarta tempat ia pernah menjadi pola
larangan, artinya yang dalam bentuk murninya hanya boleh dipakai oleh Sri
Sultan serta keluarganya yang terdekat.
Pola “nitik”
Dari nama pola ini orang akan
mendapat kesan sifat atau rupanya, yaitu titik-titik atau garis-garis pendek
yang tersusun secara geometris, membentuk pola yang meniru tenunan atau
anyaman. Mereka yang mencari asal-usul teknik batik pada tetesan atau
titik-titik lilin (kata tik), menganggap pola ini sebagai pola yang tertua.
Diantara sekian banyak pola nitik, yang terkenal ialah pola Cakar Ayam dan
Tirtateja.
Pola garis miring
Merupakan pola yang susunannya
miring atau diagonal secara tegas. Ada
dua macam pola yang termasuk golongan ini yaitu pola parang dan lereng. Pola
yang paling terkenal serta digemari diantara pola garis miring ini adalah pola parang.
Adapun tanda atau ciri pola parang ini ialah lajurlajur yang terbentuk oleh
garis-garis miring yang sejajar berisikan garisgaris pengisi tegak, dan setiap
lajur terpisah dari yang lain oleh deretan ornamen yang bergaya miring juga,
dinamakan mlinjon. Kata mlinjon dipakai disini oleh karena motif pemisah tadi
berbentuk jajaran genjang kecil, menyerupai buah mlinjo. Nama parang ialah nama
pencakup, Teknik Hias Latar sebab
motif inipun mempunyai banyak ragam. Yang termasyur diantaranya ialah pola Parang
Rusak. Banyak teori dan pendapat dikemukakan orang berhubung dengan asal-usul
pola ini. Ada
yang mencari akarnya dalam sejarah Jawa kuno, misalnya dengan Raden Panji. Nama
parang sering mengingatkan orang pada pisau atau keris, itulah sebabnya ada
yang mencari sumber pola ini pada stiliring daripada keris atau pisau. Sering
pula dikatakan, bahwa lahirnya pola ini diilhami oleh tokoh Sultan Agung dari
Mataram (1613 – 1645). Tetapi telah menjadi kenyataan bahwa pola Parang Rusak
menjadi larangan, artinya hanya boleh dipakai oleh sang raja sendiri atau
keluarganya yang terdekat. Hal ini masih dipegang teguh sampai sekarang di
dalam lingkungan tembok kraton, walaupun diluar istana tidak dihiraukan lagi larangan
ini. Nama-nama yang diberikan kepada beberapa macam pola
Parang Rusak berbeda menurut
ukuran polanya. Parang rusak dengan ukuran yang terkecil dinamakan Parang Rusak
Klitik, yang agak besar dinamakan Parang Rusak Gendreh, dan yang terbesar Parang
Rusak Barong. Pola yang disebut terakhir ini mempunyai proporsi serta kesederhanaan
pola yang menimbulkan suasana keagungan, hingga dapatlah dimengerti mengapa
dikalangan istana Jawa Tengah dianggap keramat dan hanya boleh dipakai oleh
sang raja sendiri atau sebagai sajian tertentu kepada para leluhur.
Motif-motif lain dapat pula
disusun menurut pola garis miring dan contoh yang terkenal ialah pola udan
liris dan rujak senthe, yang karena kehalusan motif-motif yang disusun miring
itu seolah-olah menyerupai hujan rintik-rintik atau liris.
Pola Non-Geometris
Pembuatan pola-pola non-geometris
ini tidak terbatas karena si pencipta pola tidak begitu terikat oleh ukuran
atau gaya-gaya tertentu. Walaupun demikian akan terlihat bahwa tradisi masih
memegang peranan yang penting mengenai tata susunan pola.
Pola Semen
Semen berasal dari kata “semi+an”
yang berarti kuncup-kuncup, daun dan bunga-bunga. Untuk memberi pegangan dalam
membedakan sekian banyak macam pola semen, para penyelidik batik membuat
pembagian berdasarkan beberapa persamaan yang terlihat, yaitu :
• Pola semen yang hanya terdiri atas kuncup daun-daunan serta
bunga-bunga (misalnya : pola pisang Bali,
kepetan).
• Pola semen yang terdiri atas kuncup-kuncup, daun serta bunga-bungaan
dikombinasikan dengan motif binatang (misalnya: pakis, peksi, endol-endol,
merak kesimpir).
• Pola semen yang terdiri atas gambaran tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang,
ditambah dengan motif sayap atau Lar.
Motif Lar atau
sayap ini merupakan pelengkap pada pola semen, dan dalam perbendaharaan ornamen
batik mengenal tiga bentuk yaitu : Lar, Mirong dan Sawat. Lar berupa sayap tunggal,
sedangkan Mirong ialah sayap kembar. Motif Sawat yang sejak
dahulu kala dianggap sebagai pola raja-raja adalah sayap kembar lengkap dengan
ekor yang terbuka. Asal-usul motif sawat tidak jelas, Rouffaer menggalinya dalam
sejarah perlambang kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, sebagai lambang
kejayaan. Masih banyak lagi pola-pola yang tidak bersifat geometris. Daerah yang
terkenal dengan nama Pesisir dimana orang tidak begitu terikat oleh tradisi
kraton-kraton, menjadi tempat asal pola yang beraneka ragam. Cirebon dengan pola-pola tidak geometris yang
menggambarkan gunung-gunung, batu-batu, kolam-kolam serta binatang-binatang
diselingi dengan rangkaian tumbuh-tumbuhan serta bunga-bungaan. Pola seperti
yang terdapat dalam selendang-selendang sutera atau Lookcan dari Pantai Utara
Jawa Tengah dan Timur, dengan burungburung, bunga-bunga serta binatang-binatang
lain, memperlihatkan campuran pengaruh berbagai ragam seni hias yang berasal
dari berbagai kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tulis komentar anda dengan singkat, padat..