Jumat, 15 Juni 2012

Batik Tulis dan Permasalahannya


Kepiawaian para pencipta dan pengembang batik di Indonesia ratusan tahun lalu ternyata bukan hanya pada kedalaman kontemplasi mereka dalam menuangkan falsafah kehidupan ke dalam motif-motif batik. Perjalanan waktu juga membuktikan, batik dapat beradaptasi dengan suasana zaman.
 Pekan lalu setidaknya ada dua acara yang menandai kelenturan batik melalui perubahan zaman: perkenalan produk batik melalui beberapa desainer disajikan dalam Jogja Fashion week di JEC tahun lalu dan pergelaran batik kontemporer dalam mode karya desainer-desainer ternama di Indonesia.    Bila kita menggunakan motif-motif tradisional batik yang kemudian dikomposisi ulang sesuai kebutuhan desain pakaian dan dengan warna-warna mengikuti arah perubahan mode, maka afif syakur memilih mengembangkan motif batik tradisional yang dipadupadankan dengan motif-motif abstrak kontemporer.             
Batik sendiri, baik sebagai teknik membuat motif maupun sebagai ragam hias, telah membuktikan dirinya selalu mampu mengikuti perubahan waktu. Meskipun ada masa pasang dan juga ada kalanya surut, batik tidak pernah benar-benar hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.    Dalam era globalisasi di mana informasi tersebar seketika, penerimaan pada batik Indonesia semakin meluas. Meskipun Malaysia sempat mengakui batik sebagai miliknya.
Tiap kawasan memiliki karakter konsumen berbeda. Seperti diungkapkan oleh teman saya yang juga merupakan salah satu pengurus Paguyuban Batik Tulis Giriloyo beberapa tahun yg lalu yang mengikuti pameran di Singapura. Ia mengatakan “di Singapura, pembeli kurang cocok dengan baju batik yang coraknya terlalu ramai. Mereka lebih suka 'sentuhan batik, dan sebaiknya batik disajikan dalam bentuk busana yang disesuaikan dengan ukuran badan orang-orang Singapura” tandasnya. 
Meski demikian, yang sering luput dari perhatian adalah para perajin batik. dalam diskusi oleh Ikatan Perancang Mode Indonesia, Yayasan Batik Indonesia, dan Dinas Pariwisata DKI akhir tahun lalu, sejumlah pengusaha batik meminta perhatian untuk nasib para perajin batik perseorangan yang bekerja di kampung-kampung.   Mengubah minyak tanah menjadi gas upanya memengaruhi cara mereka memasak lilin alam yang berakibat turunnya roduksi mereka. Karena pemerintah ingin mengangkat kesejahteraan masyarakat melalui industri reatif, hal yang elihatan sepele ini mestinya juga mendapat antuan dalam alih teknologinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tulis komentar anda dengan singkat, padat..

Pandemi Covid 19 membuat Batik banyak yang Tertumpuk

Pandemi Covid 19 sangat berdampak pada semua sektor kehidupan. Usaha Batik Tulis oleh sebagian besar masyarakat di Giriloyo, Wukirsari, Imog...